Monday, November 4, 2013

Review: STPC Tokyo ~Falling~




  
Judul Tokyo - Falling  
No. ISBN 789797806637 
Penulis Sefryana Khairil 
Penerbit GagasMedia 
Tanggal terbit Oktober - 2013 
Jumlah Halaman 348 

http://www.bukukita.com/Buku-Novel/Romance/118623-Tokyo---Falling.html 
Takdir bukan berdiam diri saja, ia tengah menunggu kita memainkan ceritanya.

Berlatar musim panas, dua wartawan bernama Thalia dan Tora bertemu secara tidak sengaja di Tokyo. Di tengah pekerjaan mereka meliput acara pembukaan International Fashion Fair di Tokyo Big Sight, gedung convention center yang menjadi ikon kota Tokyo.

Thalia yang sedang memasang lensa telephoto-nya tertabrak Tora dari belakang hingga lensa itu jatuh tanpa sempat tertangkap. Lensa itu retak dan baru bisa diperbaiki selama kurang lebih dua minggu saat mereka membawanya ke Canon Plaza yang berada di Ginza.

Perdebatan pun tak terelakkan. Thalia yang ngotot menginginkan lensa yang sama untuk melanjutkan pekerjaannya selama di Jepang, dan Tora yang memilih untuk membelikan lensa baru kepada Thalia dengan spesifikasi berbeda agar masalah mereka cepat selesai. Akhirnya, sebuah ide menjadi jalan tengah mereka berdua, yaitu bergantian menggunakan kamera milik Tora selama meliput acara dengan mengatur jadwal mereka.

Dari sinilah, waktu dua minggu yang sama-sama mereka miliki menjadi waktu yang menentukan bagi mereka. Mengerjakan liputan bersama seharian penuh, berbagi rahasia, dan menemukan masalah percintaan masing-masing yang ternyata sama—belum bisa move on dari mantan kekasih. Thalia, masih bertanya-tanya apakah Dean memiliki perasaan padanya seperti setahun yang lalu dengan munculnya hadiah gaun Zara dan sepatu Marie Claire, serta banyak lagi kejutan darinya. Tora, masih berusaha mencari kepastian hubungannya dengan Hana yang memutuskannya beberapa waktu lalu.

Pencarian itu membuat keduanya menjadi sandaran masing-masing. Pencarian yang menuntun mereka kembali pada partner kerja liputan. Pencarian yang akhirnya membuat mereka sama-sama ragu, benarkah semuanya hanya sekadar kebetulan saat perasaan nyaman itu datang dan kesadaran bahwa di sela tawa mereka saling menyembuhkan?

Buku ini merupakan proyek terakhir bertema STPC(Setiap Tempat Punya Cerita) kolaborasi Gagasmedia & Bukune. Antara buku yang satu dengan buku lainnya tidak memiliki keterkaitan cerita, namun memiliki latar yang sama, yaitu kota-kota besar di dunia.

Jika dilihat dari covernya, manis adalah kata pertama yang muncul dalam pikiran saya. Akan tetapi setelah menyelesaikan novel ini, alangkah baiknya jika pilihan warna sesuai dengan musim panas ataupun warna-warna yang identik dengan festival musim panas di Jepang. Sedangkan pink, menurut saya sangat menginterpretasikan musim semi di Jepang, yang tak lain dan tak bukan adalah bunga Sakura. Bonus kartu pos di dalamnya juga agak disayangkan. Saya menginginkan suasana ramainya festival Jepang di negara asalnya itu, karena memang latar di novel ini serba festival, bukan pemandangan bunga Sakura di Taman Uyeno(atau Ueno?), Tokyo.

Sekilas, kita akan merasakan alur ending yang sama dengan novel-novel setipe yang sudah diterbitkan sebelumnya. Ambil saja contoh Infinitely Yours karya Orizuka yang berlatar Korea, ataupun You are My Sunshine karya Prisca Pricillia yang menampilkan tokoh laki-laki Jepang. Bagi sebagian orang mungkin sudah bisa menebak bagaimana akhir dari novel ini dan sebagian orang akan merasa geregetan dengan sikap Tora yang memang bikin mencak-mencak dalam hati. Anda termasuk dalam kategori yang mana? Silakan baca dan tentukan pilihan Anda sendiri.

3.5 bintang saya berikan untuk novel ini. Keindahan kota Tokyo dengan segala detilnya yang ada membuat isi novel ini sangat menarik. Selain memang saya menyukai Jepang, latar yang ditampilkan benar-benar menggugah keinginan pembaca untuk mencoba Daikanransha ataupun sekadar duduk-duduk di taman Ueno menikmati angin semilir.

Novel ini mengingatkan kita tentang artinya berusaha, berani mengambil kesempatan dan memutuskan pilihan. Semua tidak akan berjalan baik, kalau saja yang kita lakukan hanya melarikan diri, takut dan menjadi pengecut.

Ai (Preview Cerpen dalam Buku Because Love Never End)



Tergesa-gesa aku berlari menghampiri kedua temanku yang sedang menungguku dengan tidak sabar. Kutinggalkan tas besarku di atas karpet bersama tas yang lainnya.
“Ayo cepat! Yang lain udah pada jalan duluan tuh!” Nisa, salah satu temanku, berjalan mendahului kami. “Memang tadi habis ngapain, sih?” Tanya Qisa, sahabatku yang kalem dan manis, menatapku heran.
“Ah, nggak. Tadi cari sesuatu. Untungnya ketemu.” Jawabku merasa bersalah.
“Pasti dompet HP itu lagi kan?” Kali ini Nisa berhenti, menunggu aku dan Qisa yang berjalan di belakangnya. Sambil menyamakan langkah, aku tersenyum malu, mengiyakan pertanyaannya tadi.
“Tuh, kan. Selalu begitu. Nggak bisa ditinggal sebentar apa? Kemana-mana, selalu aja dibawa.” Berulang kali aku mendengar Nisa berkata seperti itu. Bertanya-tanya, sebegitu pentingnyakah dompet HP milikku itu? Qisa tidak berkata apa-apa., hanya tersenyum melihat wajah Nisa yang tertekuk berlipat-lipat.
Sebenarnya, aku juga tidak terlalu membutuhkan dompet HP itu. Apalagi kami sekarang berada di Taman Bunga Nasional, tepatnya di Bandung. Yup, saat ini kami sedang mengadakan tur perpisahan angkatan kami yang akan lulus beberapa minggu lagi. Namanya tur, pasti sibuk diisi dengan jalan-jalan, menikmati berbagai pemandangan indah yang ada di sini. Sedangkan kami tidak mau repot membawa barang bawaan kami yang berat. Cukup membawa dompet dan HP. HP-ku sendiri aku masukkan ke kantong jaket levisku dan sesekali digunakan untuk memotret gambar-gambar menarik.
Kembali ke awal. Yang membuatku selalu membawa dompet HP itu adalah, karena ada benda mungil bulat yang selalu menempel di sana. Benda itu adalah pin. Berwarna oranye dengan hiasan-hiasan abstrak warna hitam. Di tengah-tengahnya terdapat huruf kanji yang berbunyi ‘Ai’. Dalam bahasa Indonesia, ‘Ai’ berarti ‘cinta’. Pin manis itu pemberian dari seorang temanku, Faris.
Kami bertiga bersama teman-teman yang lain masuk ke dalam labirin. Di antara kami semua, tidak ada yang membawa peta labirin itu. Lagipula, aku dan kedua temanku hanya ikut-ikutan. Kami pikir, kalau beramai-ramai, pasti tidak masalah.
“Hey, kita pilih yang mana nih? Kanan atau kiri?” Seru temanku, Vina, yang merupakan ketua kelas kami.
”Gimana kalo mencar aja? Kan biar seru!” Aku terkejut mendengar Nisa berkata begitu.
Teman-teman yang lain setuju, maka terpisahlah kami menjadi dua kelompok. Aku menyusul Nisa yang berada di barisan paling depan. “Kok malah jadi misah gini sih?” Kataku mengajukan protes.
“Udah, biarin aja. Ntar pasti ketemu lagi. Nggak usah panik deh,” kata Nisa beralasan. Mungkin memang pemikiranku yang terlalu berlebihan, tapi bagaimana kalau kita benar-benar tersesat?
Ingin aku menanyakannya pada Nisa, dan mengurungkan niatku setelah melihat wajahnya yang bersemangat. Ah, biarlah. Yang penting aku, Qisa, dan Nisa tetap bersama.
Diam-diam aku mengambil dompet HP yang ada di saku jaket. Aku amati pin itu lekat-lekat. Hal yang akhir-akhir ini menjadi kebiasaan tetapku. Entah kenapa pin itu terlihat begitu menarik. Pin pemberian Faris beberapa bulan lalu.
Saat itu, ketika baru sampai di sekolah, Lietha mencegatku dan mengatakan bahwa Faris menitipkan pin itu untukku. Awalnya aku menolak, tapi desakan Lietha tak urung membuatku meneliti pin yang ada di tangannya. Sesaat aku ragu, antara menerima atau tidak. Akhirnya dengan paksa Lietha memindahkan pin itu ke tanganku. Dan di sinilah ia, melekat di dompet HP-ku setiap saat.
Tiba-tiba aku merasa ada yang aneh. Tidak ada suara ribut-ribut seperti yang terdengar dari tadi. Kuhentikan langkahku dan menengadah ke depan. Aku tidak melihat temanku satupun. Lho, ke mana perginya mereka? Hei, hei. Yang benar saja? Masa aku sendirian di labirin yang sangat luas ini tanpa teman dan peta?
“Qisa..! Nisa..!! Di mana kalian?!” Teriakku ketakutan. Aku mulai berjalan. Mengira-ngira jalan mana yang harus kulalui.
Aku menajamkan pendengaran. Tidak ada jawaban. Dan hal itu membuatku semakin panik. Aku berlari, tidak peduli ke mana nantinya aku ini. Setiap menemui jalan buntu, aku semakin mempercepat langkahku.
Ternyata perkiraanku salah! Searusnya aku membawa peta. Seharusnya aku mengikuti teman-temanku. Seharusnya aku tidak mengamati pin itu! Huh, kalau tahu begini, seharusnya aku tidak ikut saja.

Bagaimana kisah Aku selanjutnya setelah tersesat? Siapa Faris? Dan siapa nama tokoh Aku? Silakan klik di sini.

Because Love Never End ~Kisah Bermakna Tentang Cinta Tanpa Lelah dan Rasa Menyerah~


Kisah Bermakna Tentang Cinta Tanpa Lelah dan Rasa Menyerah

Because Love Never End buku pertama saya yang resmi diterbitin. Berisi kumpulan cerpen dari penulis-penulis muda di bawah usia 22 tahun. Saya sendiri ketika menulis cerpennya berusia sekitar 14-15 tahun. Tapi yah, itu baru mentahnya sih. Ketika ikut lomba yang diadain Krea Remaja, salah satu grup penulis baru di Facebook tahun 2011, tentu saja saya edit lagi sampai kemudian dipilih menjadi salah satu karya yang akan diterbitkan.

Wuaah seneng banget rasanya waktu itu, meskipun tidak termasuk dalam empat besar. Tapi sedihnya, karena harga buku ini menurut saya yang anak SMA agak mahal dan kantong saya sedang nyaris kritis saat buku ini launching, alhasil saya belum punya buku ini di lemari buku saya. Hiks, hiks.

Semoga suatu hari nanti, saya bisa pegang(dan punya!) buku ini, membaca cerpen saya sendiri dalam bentuk buku(yang pasti sensasinya beda dibandingkan baca di laptop atau di kertas A4 hasil nge-print sendiri, hehe), dan menunjukkannya kepada keluarga dan teman sambil senyum-senyum bahwa saya telah menjadi penulis(halah!) buku. Yah, bangga sedikit boleh kan ya?

Berikut ini ada penjelasan juga dari blog penulis yang karyanya ikut diterbitkan. Cekidot!


Bagi yang mau dan berniat beli bukunya(ayoo, di Gramedia, Gunung Agung, apalagi Kinokuniya ga ada looh, eksklusif!) silakan klik di sini. Dilihat dulu juga boleeh.

Nah, ini ada preview cerpen saya yang ada di buku ini. Daripada penasaran, langsung saja klik di sini.