Tergesa-gesa aku
berlari menghampiri kedua temanku yang sedang menungguku dengan tidak sabar.
Kutinggalkan tas besarku di atas karpet bersama tas yang lainnya.
“Ayo cepat! Yang
lain udah pada jalan duluan tuh!” Nisa, salah satu temanku, berjalan mendahului
kami. “Memang tadi habis ngapain, sih?” Tanya Qisa, sahabatku yang kalem dan
manis, menatapku heran.
“Ah, nggak. Tadi
cari sesuatu. Untungnya ketemu.” Jawabku merasa bersalah.
“Pasti dompet HP
itu lagi kan?” Kali ini Nisa berhenti, menunggu aku dan Qisa yang berjalan di
belakangnya. Sambil menyamakan langkah, aku tersenyum malu, mengiyakan
pertanyaannya tadi.
“Tuh, kan.
Selalu begitu. Nggak bisa ditinggal sebentar apa? Kemana-mana, selalu aja
dibawa.” Berulang kali aku mendengar Nisa berkata seperti itu. Bertanya-tanya,
sebegitu pentingnyakah dompet HP milikku itu? Qisa tidak berkata apa-apa.,
hanya tersenyum melihat wajah Nisa yang tertekuk berlipat-lipat.
Sebenarnya, aku
juga tidak terlalu membutuhkan dompet HP itu. Apalagi kami sekarang berada di
Taman Bunga Nasional, tepatnya di Bandung. Yup, saat ini kami sedang mengadakan
tur perpisahan angkatan kami yang akan lulus beberapa minggu lagi. Namanya tur,
pasti sibuk diisi dengan jalan-jalan, menikmati berbagai pemandangan indah yang
ada di sini. Sedangkan kami tidak mau repot membawa barang bawaan kami yang berat.
Cukup membawa dompet dan HP. HP-ku sendiri aku masukkan ke kantong jaket
levisku dan sesekali digunakan untuk memotret gambar-gambar menarik.
Kembali ke awal.
Yang membuatku selalu membawa dompet HP itu adalah, karena ada benda mungil
bulat yang selalu menempel di sana. Benda itu adalah pin. Berwarna oranye
dengan hiasan-hiasan abstrak warna hitam. Di tengah-tengahnya terdapat huruf
kanji yang berbunyi ‘Ai’. Dalam bahasa Indonesia, ‘Ai’ berarti ‘cinta’. Pin manis
itu pemberian dari seorang temanku, Faris.
Kami bertiga
bersama teman-teman yang lain masuk ke dalam labirin. Di antara kami semua,
tidak ada yang membawa peta labirin itu. Lagipula, aku dan kedua temanku hanya
ikut-ikutan. Kami pikir, kalau beramai-ramai, pasti tidak masalah.
“Hey, kita pilih
yang mana nih? Kanan atau kiri?” Seru temanku, Vina, yang merupakan ketua kelas
kami.
”Gimana kalo
mencar aja? Kan biar seru!” Aku terkejut mendengar Nisa berkata begitu.
Teman-teman yang
lain setuju, maka terpisahlah kami menjadi dua kelompok. Aku menyusul Nisa yang
berada di barisan paling depan. “Kok malah jadi misah gini sih?” Kataku
mengajukan protes.
“Udah, biarin
aja. Ntar pasti ketemu lagi. Nggak usah panik deh,” kata Nisa beralasan.
Mungkin memang pemikiranku yang terlalu berlebihan, tapi bagaimana kalau kita
benar-benar tersesat?
Ingin aku
menanyakannya pada Nisa, dan mengurungkan niatku setelah melihat wajahnya yang
bersemangat. Ah, biarlah. Yang penting aku, Qisa, dan Nisa tetap bersama.
Diam-diam aku
mengambil dompet HP yang ada di saku jaket. Aku amati pin itu lekat-lekat. Hal
yang akhir-akhir ini menjadi kebiasaan tetapku. Entah kenapa pin itu terlihat
begitu menarik. Pin pemberian Faris beberapa bulan lalu.
Saat itu, ketika
baru sampai di sekolah, Lietha mencegatku dan mengatakan bahwa Faris menitipkan
pin itu untukku. Awalnya aku menolak, tapi desakan Lietha tak urung membuatku
meneliti pin yang ada di tangannya. Sesaat aku ragu, antara menerima atau
tidak. Akhirnya dengan paksa Lietha memindahkan pin itu ke tanganku. Dan di
sinilah ia, melekat di dompet HP-ku setiap saat.
Tiba-tiba aku
merasa ada yang aneh. Tidak ada suara ribut-ribut seperti yang terdengar dari
tadi. Kuhentikan langkahku dan menengadah ke depan. Aku tidak melihat temanku satupun.
Lho, ke mana perginya mereka? Hei, hei. Yang benar saja? Masa aku sendirian di
labirin yang sangat luas ini tanpa teman dan peta?
“Qisa..!
Nisa..!! Di mana kalian?!” Teriakku ketakutan. Aku mulai berjalan.
Mengira-ngira jalan mana yang harus kulalui.
Aku menajamkan
pendengaran. Tidak ada jawaban. Dan hal itu membuatku semakin panik. Aku
berlari, tidak peduli ke mana nantinya aku ini. Setiap menemui jalan buntu, aku
semakin mempercepat langkahku.
Ternyata
perkiraanku salah! Searusnya aku membawa peta. Seharusnya aku mengikuti
teman-temanku. Seharusnya aku tidak mengamati pin itu! Huh, kalau tahu begini,
seharusnya aku tidak ikut saja.
Bagaimana kisah Aku selanjutnya setelah tersesat? Siapa Faris? Dan siapa nama tokoh Aku? Silakan klik di sini.
No comments:
Post a Comment