Monday, November 4, 2013

Ai (Preview Cerpen dalam Buku Because Love Never End)



Tergesa-gesa aku berlari menghampiri kedua temanku yang sedang menungguku dengan tidak sabar. Kutinggalkan tas besarku di atas karpet bersama tas yang lainnya.
“Ayo cepat! Yang lain udah pada jalan duluan tuh!” Nisa, salah satu temanku, berjalan mendahului kami. “Memang tadi habis ngapain, sih?” Tanya Qisa, sahabatku yang kalem dan manis, menatapku heran.
“Ah, nggak. Tadi cari sesuatu. Untungnya ketemu.” Jawabku merasa bersalah.
“Pasti dompet HP itu lagi kan?” Kali ini Nisa berhenti, menunggu aku dan Qisa yang berjalan di belakangnya. Sambil menyamakan langkah, aku tersenyum malu, mengiyakan pertanyaannya tadi.
“Tuh, kan. Selalu begitu. Nggak bisa ditinggal sebentar apa? Kemana-mana, selalu aja dibawa.” Berulang kali aku mendengar Nisa berkata seperti itu. Bertanya-tanya, sebegitu pentingnyakah dompet HP milikku itu? Qisa tidak berkata apa-apa., hanya tersenyum melihat wajah Nisa yang tertekuk berlipat-lipat.
Sebenarnya, aku juga tidak terlalu membutuhkan dompet HP itu. Apalagi kami sekarang berada di Taman Bunga Nasional, tepatnya di Bandung. Yup, saat ini kami sedang mengadakan tur perpisahan angkatan kami yang akan lulus beberapa minggu lagi. Namanya tur, pasti sibuk diisi dengan jalan-jalan, menikmati berbagai pemandangan indah yang ada di sini. Sedangkan kami tidak mau repot membawa barang bawaan kami yang berat. Cukup membawa dompet dan HP. HP-ku sendiri aku masukkan ke kantong jaket levisku dan sesekali digunakan untuk memotret gambar-gambar menarik.
Kembali ke awal. Yang membuatku selalu membawa dompet HP itu adalah, karena ada benda mungil bulat yang selalu menempel di sana. Benda itu adalah pin. Berwarna oranye dengan hiasan-hiasan abstrak warna hitam. Di tengah-tengahnya terdapat huruf kanji yang berbunyi ‘Ai’. Dalam bahasa Indonesia, ‘Ai’ berarti ‘cinta’. Pin manis itu pemberian dari seorang temanku, Faris.
Kami bertiga bersama teman-teman yang lain masuk ke dalam labirin. Di antara kami semua, tidak ada yang membawa peta labirin itu. Lagipula, aku dan kedua temanku hanya ikut-ikutan. Kami pikir, kalau beramai-ramai, pasti tidak masalah.
“Hey, kita pilih yang mana nih? Kanan atau kiri?” Seru temanku, Vina, yang merupakan ketua kelas kami.
”Gimana kalo mencar aja? Kan biar seru!” Aku terkejut mendengar Nisa berkata begitu.
Teman-teman yang lain setuju, maka terpisahlah kami menjadi dua kelompok. Aku menyusul Nisa yang berada di barisan paling depan. “Kok malah jadi misah gini sih?” Kataku mengajukan protes.
“Udah, biarin aja. Ntar pasti ketemu lagi. Nggak usah panik deh,” kata Nisa beralasan. Mungkin memang pemikiranku yang terlalu berlebihan, tapi bagaimana kalau kita benar-benar tersesat?
Ingin aku menanyakannya pada Nisa, dan mengurungkan niatku setelah melihat wajahnya yang bersemangat. Ah, biarlah. Yang penting aku, Qisa, dan Nisa tetap bersama.
Diam-diam aku mengambil dompet HP yang ada di saku jaket. Aku amati pin itu lekat-lekat. Hal yang akhir-akhir ini menjadi kebiasaan tetapku. Entah kenapa pin itu terlihat begitu menarik. Pin pemberian Faris beberapa bulan lalu.
Saat itu, ketika baru sampai di sekolah, Lietha mencegatku dan mengatakan bahwa Faris menitipkan pin itu untukku. Awalnya aku menolak, tapi desakan Lietha tak urung membuatku meneliti pin yang ada di tangannya. Sesaat aku ragu, antara menerima atau tidak. Akhirnya dengan paksa Lietha memindahkan pin itu ke tanganku. Dan di sinilah ia, melekat di dompet HP-ku setiap saat.
Tiba-tiba aku merasa ada yang aneh. Tidak ada suara ribut-ribut seperti yang terdengar dari tadi. Kuhentikan langkahku dan menengadah ke depan. Aku tidak melihat temanku satupun. Lho, ke mana perginya mereka? Hei, hei. Yang benar saja? Masa aku sendirian di labirin yang sangat luas ini tanpa teman dan peta?
“Qisa..! Nisa..!! Di mana kalian?!” Teriakku ketakutan. Aku mulai berjalan. Mengira-ngira jalan mana yang harus kulalui.
Aku menajamkan pendengaran. Tidak ada jawaban. Dan hal itu membuatku semakin panik. Aku berlari, tidak peduli ke mana nantinya aku ini. Setiap menemui jalan buntu, aku semakin mempercepat langkahku.
Ternyata perkiraanku salah! Searusnya aku membawa peta. Seharusnya aku mengikuti teman-temanku. Seharusnya aku tidak mengamati pin itu! Huh, kalau tahu begini, seharusnya aku tidak ikut saja.

Bagaimana kisah Aku selanjutnya setelah tersesat? Siapa Faris? Dan siapa nama tokoh Aku? Silakan klik di sini.

No comments:

Post a Comment