- Ukuran : 13.5 x 20 cm
- Tebal : 300 halaman
- Terbit : Juni 2011
- Cover : Softcover
- ISBN : 978-979-22-7096-9
- No Produk : 20101110012
Pertama kali membaca judulnya, saya
langsung tertarik. Jepang. Sebuah Negara yang menarik minat saya dengan segala
sesuatu yang dimilikinya. Novel ini pun menjadi salah satu alasan saya semakin
menyukai Jepang. Sebuah karya fiksi yang menceritakan sejarah Jepang ini begitu
memikat.
Bersetting di masa kini, seorang jurnalis
produser program dokumenter kontroversial di NHK bernama Sugamo Arai meminta
Onodera Mayumi, seorang sejarawan untuk menyelidiki keberadaan pilot wanita
yang dicurigai pernah berada di kamp Shinbu, tempat ‘re-edukasi’ para pilot,
yang didirikan menjelang Perang Dunia Kedua berakhir.
Nama pilot wanita itu adalah Sayuri
Miyamoto, tercatat dalam daftar pilot yang “masuk” dari dokumen rahasia tentang
kamp itu. Namun tidak ada satu pun catatan yang menunjukkan bahwa ia pernah
“keluar”. Sebagai gantinya, tercantum nama Rika Kobayashi di daftar “keluar”.
Pencarian Mayumi berujung pada seorang
nenek yang tinggal di tengah-tengah kota kecil Kurihashi. Mayumi berhasil
menemukan Sayuri dan memintanya untuk menceritakan bagaimana kisah kehidupannya
hingga bisa menjadi pilot ‘Kamikaze’ atau “Angin Tuhan’ yang seharusnya hanya
bisa dilakukan oleh laki-laki.
Mulailah penuturan itu, kilas balik dimulai
dari Sayuri yang masih berumur sembilan belas tahun saat Perang Dunia Kedua
bermula, yaitu ketika Jepang berhasil menghancurkan Pearl Harbor. Serangan itu
merupakan awal dari segalanya.
Selama perag berlangsung, Amerika balas
menyerang dan mengobarkan perang semakin luas. Pemerintah Jepang lalu
memberlakukan wajib militer bagi setiap laki-laki dewasa yang berumur di atas
tujuh belas tahun. Hiro, adik Sayuri, kala itu usianya tepat tujuh belas tahun.
Ia pun tidak luput dari pihak militer Jepang yang memaksanya untuk ikut
berperang.
Keinginan Sayuri menemui adiknya sebelum
diberangkatkan ke Asia Tenggara membuatnya nekat pergi ke Tokyo bersama
sahabatnya, Reiko yang juga ingin mencari tunangannya, Yukio, yang ikut terbawa
arus perang yang mengganas.
Dalam pencariannya itu, mereka bekerja di
Rumah Sakit Ohashi sebagai perawat. Hingga suatu hari, Sayuri menemukan Yukio
terbaring sekarat. Keadaannya sangat parah dengan wajah hancur. Sambil terus
menerus menyebut nama Reiko, ia akhirnya meninggal dunia.
Dengan suatu petunjuk, perjalanan mereka
berlanjut menuju utara Tokyo. Mereka kembali menjadi perawat. Setelah pencarian
berminggu-minggu, mereka berhasil menemukan Hiro. Seminggu setelahnya, unit
pasukan Hiro berlayar ke Singapura. Tetapi kapal yang ditumpanginya tenggelam
ditorpedo oleh kapal selam Amerika.
Amarah Sayuri bergelora dan ia bersumpah
akan membalas mereka karena membunuh adiknya. Seakan belum cukup perang
memporak-porandakan hati dan kehidupannya, Sayuri harus menerima kenyataan
sahabatnya Reiko tewas tertimpa serangan bom yang dilancarkan oleh pihak musuh.
Tak ada yang tersisa di Tokyo, Sayuri
memutuskan pergi ke Mitaka untuk menjadi seorang pilot Kamikaze—keinginan terpendamnya
yang begitu lama tersimpan. Di sana, ia mengubah kehidupannya menjadi laki-laki
dan bertemu kekasih hatinya bernama Takushi.
Penggambaran latar dari tahun 1941 hingga
1945 selama perang berlangsung, sangat mendetail. Bermula dari kehidupan di
kota Matsumoto, hingga ke kota besar Tokyo. Kisah Sayuri cukup panjang, namun
dengan alur yang cepat, saya pun terbawa alirannya hingga titik terakhir.
Kegelisahan, kebingungan, dan kemarahan
Sayuri sangat jelas saya rasakan. Dampak yang dibawa oleh perang selalu
menyakitkan. Merenggut nyawa tersayang orang-orang yang kita miliki. Terutama
Jepang, sebagai salah satu pelaku besar Perang Dunia Kedua, gencar melakukan
serangan-serangan kepada pihak Amerika, mengambil para lelaki—entah itu putra,
suami, atau ayah mereka—dan menyisakan perempuan serta para orang tua
menanggung kesedihan mengorbankan keluarga mereka.
Penuturan ceritanya yang mengalir dan
pendalaman karakter Sayuri terasa seolah-olah kita sendiri yang mengalaminya.
Kerasnya perjuangan bertahan di tengah perang
disertai kegalauan dan amarah yang memuncak ditinggalkan orang-orang
terkasih begitu menyentuh, membuat pembaca ikut bersimpati atas apa yang
terjadi pada tokoh utamanya.
Pertemuan Sayuri dengan Takushi memberikan
kisah manis tersendiri di sela-sela alur cerita yang menegangkan. Penasaran
akan menuju ke mana hubungan mereka memaksa saya terus membaca hingga akhir.
Ketika penuturan kisah masa lalu Sayuri usai, dan kembali menuju Rika
Kobayashi, seorang wanita tua yang terus menyimpan beban akan pahitnya
kehidupannya dulu tanpa berbagi, hingga Mayumi muncul dan menjadi orang
pertama—dan terakhir—yang mendengarkan kisah tragis itu secara langsung.
Pergantian setting dari masa kini menuju
masa lalu Sayuri ditata dengan apik tanpa membingungkan pembacanya. Karena ini
adalah buku terjemahan, mungkin bagi sebagian orang tata bahasanya agak berbeda
dengan novel Indonesia pada umumnya. Namun secara keseluruhan, novel ini
sungguh terlalu sayang untuk dilewatkan. Sangat direkomendasikan bagi mereka
yang menyukai Jepang, sejarah, atau kisah roman yang dikemas dengan gaya
penceritaan yang unik.
Empat bintang saya berikan untuk Mawar
Jepang!
No comments:
Post a Comment