Pengarang : Tere Liye
ISBN : 978-602-9474-04-6
Terbit : Jakarta, 2012
Halaman : vi+206 Halaman
Harga : Rp. 49500,-
Berat : 100 gram
Dimensi : 13.5 X 20.5 Cm
Cover : Soft Cover
Buku kedua Berjuta Rasanya ini masih dalam format yang sama.
Berisikan delapan kisah yang agak panjang dibandingkan cerpen-cerpen dalam buku
pertamanya.
Saat membaca cerita pertama, mungkin akan dibuat sedikit
kecewa bagi yang sudah pernah membaca Berjuta Rasanya. Bagaimana tidak?
Keseluruhan inti cerita, tokoh, dan penyampaiannya, sama dengan salah satu
cerita di buku yang pertama. Bahkan, judulnya pun sama.
Ketika berlanjut ke cerita kedua, barulah pembaca dibawa
hanyut oleh kisah Sie Sie, seorang gadis enam belas tahun yang berasal dari
Singkawang, Kalimantan. Berlatar belakang keluarga miskin, Sie Sie harus
mengurus keenam adiknya yang masih kecil-kecil. Konflik bermula saat ibu Sie
Sie jatuh sakit, dan ayah Sie Sie yang kemudian dipecat dari pabrik tahu
tempatnya bekerja karena ketahuan mencuri brankas untuk keperluan berobat. Tak
pelak lagi, ayah Sie Sie pun dijebloskan ke dalam penjara.
Masalah uang yang semakin menghantui, membuat Sie Sie rela
menawarkan diri pada seorang pemuda Taiwan yang saat itu datang ke Singkawang
untuk mencari istri. Pernikahan itu pun dilakukan, meski awalnya ditentang oleh
ibu Sie Sie. Terdesak oleh kebutuhan uang membiayai rumah sakit, Sie Sie nekat
menikahi pemuda Taiwan itu, yang perangainya sangat jauh dari kata baik. Ia menikahi
Sie Sie hanya karena itulah syarat yang ada di surat wasiat kedua orang tuanya,
bahwa ia harus menikah terlebih dahulu untuk bisa mendapatkan harta warisan.
Perjuangan Sie Sie dalam menghadapi pernikahan tak
diinginkan, bersama suami bertabiat buruk di negeri orang tanpa kerabat yang
dikenal, sungguh berat rasanya. Hanya janji suci yang diucapkan Sie Sie pada
ibunya sesaat sebelum ia dibawa suaminya ke Taiwan yang membuatnya bertahan.
“Sie janji, Ma.
Pernikahan ini akan bahagia. Sie akan mencintai dia apa adanya. Sie janji Ma,
dia juga akan mencintai Sie apa adanya.”
Mampukah Sie Sie memenuhi janjinya tersebut?
Itu hanyalah sepotong kalimat yang mampu membuat saya
terpesona akan kisah yang dirajut oleh Tere Liye ini. Masih ada cerpen yang
membuat saya nyaris menangis, seperti cerita Mimpi-Mimpi Sampek-Engtay, yang
entah bagaimana mampu menyihir saya meresapi kepedihan hati tokohnya.
Ada juga cerpen unik yang mengguanakan ejaan zaman dahulu
sebelum adanya EYD, di saat yang masih jang, itu masih itoe, terjadi masih
terdjadi, dan banyak ejaan lain yang belum disempurnakan. Tidak hanya
bahasanya, ceritanya pun berlatar penjajahan Belanda yang terasa klasik saat
dibaca.
Legenda Rama-Shinta, yang banyak diketahui orang pun, tak
luput dari kelincahan Tere Liye dalam mengolah kata. Sebuah kisah mengharukan
dan penuh amanat. Terakhir, kisah nyata sepasang sahabat yang tak pernah
bersama, seolah menjadi penutup yang manis dengan ditampilkannya potongan
e-mail tanya jawab antara penulis dengan narasumber yang menjadi tokoh cerita.
Meskipun ada dua cerita yang jika dilihat dari berbagai segi
rasanya sangat mirip, namun tidak membuat saya terganggu untuk menikmati sisa
kisah yang ada. Seperti biasa, penuh inspirasi, pesan yang mengena, dan kesan
mendalam pada rajutan kata karya Tere Liye berhasil menghasilkan sesuatu yang
‘penuh’. Yah, semoga pemahaman baik itu datang, terutama bagi remaja labil yang
terombang-ambing arus kisah romantis teenlit masa kini.
No comments:
Post a Comment