Tuesday, May 7, 2013

Review: 1 Liter of Tears, Satu Liter yang Menginspirasi


Judul                         : 1 Liter of Tears
Pengarang               : Aya Kito
Alih bahasa              : Endang Marina 
Jenis novel               : Non fiksi
Tahun terbit              : 2010 
Penerbit                   : Jakarta, PT Elex Media Komputindo
Harga buku              : Rp 34.800 
Jumlah halaman      : 8 halaman muka, 160 halaman isi 
Ukuran                      : 200 mm x 135 mm, 175 gram 
ISBN                         : 978-979-27-6640-0


1 Liter of Tears adalah sebuah buku yang menceritakan tentang pengalaman nyata seorang perempuan bernama Aya Kito. Isi buku ini merupakan kumpulan curahan hati dari buku harian penulis sebagai tokoh utama. Novel ini terbagi menjadi beberapa bab yang diisi dengan banyak subbab. Tiap-tiap subbab menceritakan kejadian singkat yang dialami oleh penulis.
Cerita diawali dengan kisah ketika Aya berulang tahun ke-14. Ia kemudian menjelaskan seluruh anggota keluarganya yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan 4 orang adiknya. Ia adalah gadis yang cerdas, giat, dan ceria. Menginjak usia 15 tahun, ia mulai mengalami perubahan dalam tubuhnya. Sebuah penyakit yang bernama SCA (Spinocerebellar Ataxia) perlahan-lahan merenggut masa muda gadis belia itu. Gejala awal yang dialami oleh Aya di antaranya adalah kehilangan berat badan secara drastis, sulit berjalan normal, sering tersedak saat makan, dan pergerakan tubuhnya melambat.
Dari hari ke hari, Aya harus melewati berbagai kenangan pahit akibat penyakitnya. Seperti diejek teman, tidak bisa mengikuti pelajaran olahraga, hingga akhirnya ia harus merelakan sekolahnya yang lama untuk melanjutkan belajar di SLB (Sekolah Luar Biasa). Di sana, ia bertemu dengan anak sesama penderita cacat dan belajar banyak hal dari kehidupan asrama SLB.

Sebelum ia pindah ke SLB, Aya sering menangisi tentang kondisi tubuhnya. Ia sangat sedih mengetahui dirinya tidak bisa lagi kembali seperti dulu, saat keadaan masih normal. Ketika itulah, ibunya (Shioka Kito) selalu mendukung dan menyemangati Aya agar tidak terus-menerus bersedih dan lebih bisa menerima takdirnya dengan ikhlas.

Aya pun kemudian menggunakan kursi roda yang digerakkan mesin untuk memudahkan gerakannya. Terutama setelah ia tinggal di asrama SLB, ia harus mengurus dirinya sendiri tanpa dibantu sang ibu. Apa mau dikata, tak dinyana penyakit Aya semakin menggerogoti tubuhnya. Ia mulai mengeluhkan lidahnya kelu dan sulit berbicara, terutama dengan suara keras. Ia sering terjatuh dan tak bisa makan dengan normal karena jari-jarinya terasa kaku.
Berkali-kali ia pergi ke rumah sakit untuk mengobati penyakitnya bersama sang ibu yang sangat tegar. Tetapi kenyataan tidaklah semanis yang diharapkan. Memasuki usia 19 tahun, Aya sudah tidak bisa berjalan lagi. Di hari-hari terakhir sebelum kematiannya, ia bahkan tidak bisa bergerak. Sedikit demi sedikit fungsi tubuh Aya mengalami penurunan dan laju penyakitnya tak dapat dibendung lagi. Ia hampir tak dapat menulis dan membaca lagi. Namun semangat Aya untuk menulis tak pernah luntur. Aya terus berjuang melawan penyakitnya sambil terus menulis catatan harian sampai suatu hari ia harus menyerah pada penyakitnya. Aya meninggal pada 23 Mei 1988, pukul 00.55.

Novel ini sesungguhnya menyuguhkan suatu kisah yang sangat menyentuh bagi para pembacanya. Dari lembar ke lembar, kita seolah-olah dibawa memasuki kehidupan sang tokoh yang sering terisi dengan kata-kata menangis dan menanyakan arti hidupnya dengan keadaannya yang terbatas. Buku ini mengingatkan kita betapa berharganya hidup itu. Kalimat-kalimat yang mengalir dari tulisan buku harian gadis remaja ini memberikan kita pemahaman arti hidup yang sebenarnya. Ia seperti ingin menularkan semangat hidupnya yang tak pernah padam.

Selain itu, kasih sayang keluarga sang tokoh juga merupakan contoh yang patut untuk ditiru. Dengan kebaikan hati dan kesabaran yang sungguh-sungguh dari orang tua ke anak, kehidupan mereka terasa begitu manis. Berbagai pengalaman pahit yang dialami tokohnya terasa begitu nyata, menyentuh hati ketika teringat keluhan-keluhan kita terhadap hal-hal kecil. Padahal ada banyak orang-orang kurang beruntung yang harus melewati kehidupan normal dengan susah payah.

Pada tahun 2005, telah dibuat drama berdasarkan kisah Aya di Negara aslinya, Jepang, yang berjumlah 11 episode dengan judul yang sama. Drama tersebut meraih kesuksesan hingga sampai ke Indonesia. Walaupun cerita dalam drama dengan aslinya cukup berbeda, secara keseluruhan drama itu mewakili perasaan Aya yang tertumpahkan lewat adegan-adegan sang tokoh utama melalui kehidupannya baik di rumah maupun di sekolah.

Adanya catatan Dokter Yamamoto Hiroko yang menjelaskan penyakit Spinocerebellar Ataxia dan pendapatnya mengenai pribadi Aya serta catatan Shiroka Kito tentang perjuangan putrinya serasa melengkapi buku ini menjadi satu kesatuan yang utuh. Dengan dilengkapi foto-foto Aya Kito di akhir halaman memberikan sentuhan yang pas ketika menutup halaman terakhir buku ini.

Terlalu banyak subbab dan kejadian-kejadian yang disampaikan secara acak karena berasal dari catatan-catatan harian mungkin agak membuat bingung alur ceritanya. Selain itu, kelemahan dari novel ini adalah tidak terlalu jelas aktivitas tokoh lain dan tidak disebutkan nama adik-adik lelaki Aya (kecuali dua adik perempuannya yang bernama Ako dan Rika) sehingga cerita hanya berpusat pada tokoh utama. Perjalanan sang tokoh dari satu latar tempat ke tempat yang lain sangat kontras dan tidak ada pengantar yang menghubungkannya. Setiap subbab seperti berisi cerita lepas yang menggambarkan perasaan sang tokoh saat itu juga.

Ada kalanya sedih tetapi tiba-tiba berubah menjadi pengalaman yang menyenangkan adalah hal yang biasa akan ditemukan dalam novel ini. Maka jangan heran apabila mood swing dalam buku ini terasa sangat kental.

1 Liter of Tears adalah sebuah karya non fiksi yang sangat patut dihargai. Buku ini telah memberikan motivasi kepada banyak orang. Komentar-komentar yang terdapat di halaman depan dan belakang buku ini merupakan contoh buktinya. Dari pelajar SMP hingga orang tua dapat disuguhi buku memoar seorang penderita penyakit Spinocerebellar Ataxia ini. Mereka yang menulis komentar mengibaratkan 1 Liter of Tears sebagai buku yang memberikan semangat kepada mereka. Buku ini seperti memiliki jiwa yang menguatkan orang-orang yang membacanya untuk tetap tegar dalam menghadapi cobaan dalam bentuk apapun itu.

Lewat tulisannya, Aya Kito berhasil membuat lebih dari satu liter air mata di dunia menetes setelah membacanya.

2 comments:

  1. Sis/gan bisa infoin novel versi inggrisnya.. saya butuh detail bukunya yg versi inggris.. pliist buat tugas

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah maaf mbak, saya juga kurang tahu versi yg selain bhs Indonesia..

      Delete