Sunday, May 19, 2013

Review: Mawar Jepang ~Kisah Pilot Kamikaze Jepang yang Dibungkam dalam Sejarah~





  • Ukuran : 13.5 x 20 cm
  • Tebal : 300 halaman
  • Terbit : Juni 2011
  • Cover : Softcover
  • ISBN : 978-979-22-7096-9
  • No Produk : 20101110012
http://www.gramediapustakautama.com/buku-detail/84790/Mawar-Jepang:-Kisah-Pilot-Kamikaze-Perempuan-yang-Dibungkam-dalam-Sejarah

Pertama kali membaca judulnya, saya langsung tertarik. Jepang. Sebuah Negara yang menarik minat saya dengan segala sesuatu yang dimilikinya. Novel ini pun menjadi salah satu alasan saya semakin menyukai Jepang. Sebuah karya fiksi yang menceritakan sejarah Jepang ini begitu memikat.

Bersetting di masa kini, seorang jurnalis produser program dokumenter kontroversial di NHK bernama Sugamo Arai meminta Onodera Mayumi, seorang sejarawan untuk menyelidiki keberadaan pilot wanita yang dicurigai pernah berada di kamp Shinbu, tempat ‘re-edukasi’ para pilot, yang didirikan menjelang Perang Dunia Kedua berakhir.

Nama pilot wanita itu adalah Sayuri Miyamoto, tercatat dalam daftar pilot yang “masuk” dari dokumen rahasia tentang kamp itu. Namun tidak ada satu pun catatan yang menunjukkan bahwa ia pernah “keluar”. Sebagai gantinya, tercantum nama Rika Kobayashi di daftar “keluar”.

Pencarian Mayumi berujung pada seorang nenek yang tinggal di tengah-tengah kota kecil Kurihashi. Mayumi berhasil menemukan Sayuri dan memintanya untuk menceritakan bagaimana kisah kehidupannya hingga bisa menjadi pilot ‘Kamikaze’ atau “Angin Tuhan’ yang seharusnya hanya bisa dilakukan oleh laki-laki.

Mulailah penuturan itu, kilas balik dimulai dari Sayuri yang masih berumur sembilan belas tahun saat Perang Dunia Kedua bermula, yaitu ketika Jepang berhasil menghancurkan Pearl Harbor. Serangan itu merupakan awal dari segalanya.

Selama perag berlangsung, Amerika balas menyerang dan mengobarkan perang semakin luas. Pemerintah Jepang lalu memberlakukan wajib militer bagi setiap laki-laki dewasa yang berumur di atas tujuh belas tahun. Hiro, adik Sayuri, kala itu usianya tepat tujuh belas tahun. Ia pun tidak luput dari pihak militer Jepang yang memaksanya untuk ikut berperang.
Keinginan Sayuri menemui adiknya sebelum diberangkatkan ke Asia Tenggara membuatnya nekat pergi ke Tokyo bersama sahabatnya, Reiko yang juga ingin mencari tunangannya, Yukio, yang ikut terbawa arus perang yang mengganas.

Dalam pencariannya itu, mereka bekerja di Rumah Sakit Ohashi sebagai perawat. Hingga suatu hari, Sayuri menemukan Yukio terbaring sekarat. Keadaannya sangat parah dengan wajah hancur. Sambil terus menerus menyebut nama Reiko, ia akhirnya meninggal dunia.
Dengan suatu petunjuk, perjalanan mereka berlanjut menuju utara Tokyo. Mereka kembali menjadi perawat. Setelah pencarian berminggu-minggu, mereka berhasil menemukan Hiro. Seminggu setelahnya, unit pasukan Hiro berlayar ke Singapura. Tetapi kapal yang ditumpanginya tenggelam ditorpedo oleh kapal selam Amerika.

Amarah Sayuri bergelora dan ia bersumpah akan membalas mereka karena membunuh adiknya. Seakan belum cukup perang memporak-porandakan hati dan kehidupannya, Sayuri harus menerima kenyataan sahabatnya Reiko tewas tertimpa serangan bom yang dilancarkan oleh pihak musuh.

Tak ada yang tersisa di Tokyo, Sayuri memutuskan pergi ke Mitaka untuk menjadi seorang pilot Kamikaze—keinginan terpendamnya yang begitu lama tersimpan. Di sana, ia mengubah kehidupannya menjadi laki-laki dan bertemu kekasih hatinya bernama Takushi.

Penggambaran latar dari tahun 1941 hingga 1945 selama perang berlangsung, sangat mendetail. Bermula dari kehidupan di kota Matsumoto, hingga ke kota besar Tokyo. Kisah Sayuri cukup panjang, namun dengan alur yang cepat, saya pun terbawa alirannya hingga titik terakhir.

Kegelisahan, kebingungan, dan kemarahan Sayuri sangat jelas saya rasakan. Dampak yang dibawa oleh perang selalu menyakitkan. Merenggut nyawa tersayang orang-orang yang kita miliki. Terutama Jepang, sebagai salah satu pelaku besar Perang Dunia Kedua, gencar melakukan serangan-serangan kepada pihak Amerika, mengambil para lelaki—entah itu putra, suami, atau ayah mereka—dan menyisakan perempuan serta para orang tua menanggung kesedihan mengorbankan keluarga mereka.

Penuturan ceritanya yang mengalir dan pendalaman karakter Sayuri terasa seolah-olah kita sendiri yang mengalaminya. Kerasnya perjuangan bertahan di tengah perang  disertai kegalauan dan amarah yang memuncak ditinggalkan orang-orang terkasih begitu menyentuh, membuat pembaca ikut bersimpati atas apa yang terjadi pada tokoh utamanya.

Pertemuan Sayuri dengan Takushi memberikan kisah manis tersendiri di sela-sela alur cerita yang menegangkan. Penasaran akan menuju ke mana hubungan mereka memaksa saya terus membaca hingga akhir. Ketika penuturan kisah masa lalu Sayuri usai, dan kembali menuju Rika Kobayashi, seorang wanita tua yang terus menyimpan beban akan pahitnya kehidupannya dulu tanpa berbagi, hingga Mayumi muncul dan menjadi orang pertama—dan terakhir—yang mendengarkan kisah tragis itu secara langsung.

Pergantian setting dari masa kini menuju masa lalu Sayuri ditata dengan apik tanpa membingungkan pembacanya. Karena ini adalah buku terjemahan, mungkin bagi sebagian orang tata bahasanya agak berbeda dengan novel Indonesia pada umumnya. Namun secara keseluruhan, novel ini sungguh terlalu sayang untuk dilewatkan. Sangat direkomendasikan bagi mereka yang menyukai Jepang, sejarah, atau kisah roman yang dikemas dengan gaya penceritaan yang unik.

Empat bintang saya berikan untuk Mawar Jepang!

No comments:

Post a Comment